Ketahuilah bahwa tasawuf yang juga disebut ilmu batin merupakan ilmu yang paling besar nilainya dan paling agung posisinya, serta paling tinggi pancaran sinarnya. Orang yang menjalankannya dilebihkan oleh Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya yang lain setelah para nabi dan rasul a.s. Allah menjadikan qalbu mereka sebagai tempat menyimpan berbagai rahasia. Mereka dijadikan Allah sebagai kelompok elit umat, sebagai tempat terbitnya berbagai sinar Ilahiah di kalangan makhluk. Mereka adalah penolong bagi makhluk. Mereka juga merupakan poros bagi keumuman kondisi ruhani makhluk (ahwal) karena kehadiran mereka menyertai kebenaran (al-haqq).
Ath-Thayyibi berkata, “Seorang ulama, meskipun dia amat mendalam ilmunya hingga tidak ada yang menyamai zamannya, tidak pantas merasa puas dengan ilmunya sendiri. Dia mesti berkumpul bersama ahli thariqah (para penempuh jalan ruhani) agar mereka menunjukinya jalan istiqamah, hingga dia menjadi bagian dari mereka yang diajak bicara oleh al-Haqq di dalam sirr-nya karena batinnya menjadi amat bening dan bebas dari berbagai kotoran. Selain itu, agar dia bisa menjauhi berbagai residu hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan ego busuk yang mengotori ilmunya. Dengan begitu, qalbunya akan siap menerima pancaran berbagai ilmu ladunni dan pengutipan langsung (iqtibas) dari lentera cahaya kenabian (misykat anwar an-nubuwwah).”
Menurut ath-Thayyibi, biasanya predikat seperti itu tidak mudah dicapai, kecuali dengan bimbingan seorang syaikh yang sempurna, syaikh yang mengetahui cara-cara penyembuhan berbagai penyakit jiwa, mengetahui cara penyuciannya dari berbagai najis yang bersifat maknawi, serta memiliki hikmah (kemampuan supranatural) untuk mengolahnya, baik dengan ilmu maupun intuisi. Tujuannya agar nafsu yang memerintah kepada kejahatan dan racun-racunnya yang tersembunyi bisa keluar dari dalam dirinya.”
Para ulama ahli thariqah sepakat mengenai keharusan mengambil seorang syaikh untuk menjadi pembimbing guna menghilangkan sifat-sifat yang menghalangi masuknya hadhrah Allah ke dalam qalbu, agar kehadiran dan kekhusukan di dalam menjalankan berbagai ritual ibadah benar-benar nyata. Kesepakatan ini merupakan bagian dari bab ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib (sesuatu yang tanpanya menjadikan kewajiban tidak sempurna, berarti sesuatu itu wajib).”
Menyembuhkan penyakit-penyakit batin termasuk suatu kewajiban. Karena itu, orang yang mengidap berbagai penyakit batin itu harus mencari seorang syaikh yang dapat mengeluarkannya dari setiap dilema. Jika dia tidak mendapatkan syaikh tersebut di lingkungan tempat tinggalnya, dia harus pergi mencarinya ke daerah lain, meskipun jauh.
Al-lmam Ahmad ibn Hanbal r.a. pernah berkata kepada putranya, ‘Abdullah, “Wahai anakku, engkau harus mempelajari hadis, dan berhati-hatilah jangan sampai engkau duduk bersama mereka yang menamai dirinya sebagai kaum sufi. Tidak jarang di antara mereka ada yang bodoh terhadap hukum-hukum agamanya.” Namun setelah beliau bersahabat dengan Abu Hamzah al-Baghdadi dan mengetahui berbagai kondisi ruhani (ahwal) kaum sufi, al-lmam Ahmad ibn Hanbal berkata Iagi kepada putranya, “Wahai anakku, engkau harus duduk bersama kaum sufi karena mereka telah menambahkan banyak ilmu kepadaku, menambahkan kedekatan diri dengan Allah, rasa takut akan tertahannya rahmat, zuhud dalam dunia dan ketinggian semangat.”
Selain al-Imam Ahmad ibn Hanbal, al-Imam asy-Syafi’i juga sering duduk bersama kaum sufi. Bahkan al-Imam asy-Syafi’i berkata, “Seorang faqih (ahli fikih) perlu mengenal dan mengetahui benar istilah-istilah kaum sufi, agar mereka bisa memberinya manfaat ilmu yang tidak dia miliki.”
Al-Imam asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal sering bolak-balik untuk menghadiri majelis orang-orang sufi. Beliau hadir untuk mengikuti majelis zikir mereka. Suatu hari, mereka ditanya, “Mengapa kalian sering bolak-balik mendatangi orang-orang bodoh seperti mereka?” Al-Imam asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal memberikan jawaban, “Sesungguhnya mereka itu mempunyai dan mengetahui semua pokok urusan. Yaitu taqwallah (bertaqwa kepada Allah), mahabbatullah (mencintai Allah) dan ma’rifatullah (makrifat kepada Allah).” Sebagian ulama lain berkomentar, “Siapa pun Anda yang mempercayai ucapan ahli Thariqah, mintalah dia berdoa untukmu, sebab dia mujabud-da’wah (doanya dikabulkan).”
Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Tasawuf
Setiap orang yang hendak mendalami suatu disiplin ilmu, hendaklah terlebih dahulu memahami gambaran tentangnya sehingga dalam menjalankannya bisa benar-benar jelas dan terarah. Penggambaran itu hanya bisa didapat dengan mengenali prinsip dasar yang sepuluh (al-mabadi al-‘asyrah). Yaitu: defnisi, objek kajian, manfaat mempelajarinya, keunggulannya, korelasinya dengan ilmu-ilmu yang lain, peletak dasarnya, namanya, sumber-sumber pengambilannya, hukum mempelajarinya dan permasalahannya.
- Definisi Tasawuf
Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui berbagai kondisi jiwa (ahwal an-nafs) yang terpuji dan tercela, cara penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela, cara menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, cara menempuh suluk menuju Allah dan berlari kepada-Nya. Di dalam satu nazham disebutkan:
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang tidak bisa didapat
selain oleh si cerdas yang dikenal al-haqq
Bagaimana bisa orang yang tidak menyaksikannya dapat mengenalinya Bagaimana bisa si buta menyaksikan sinar mentari
- Objek Tasawuf
Objek kajian ilmu tasawuf adalah perbuatan-perbuatan hati dan indera lahir (af’al al-qalb wal-hawas) serta cara penyucian dan pemurniannya (tazkiyah wa tashfiyah).
- Hasil Tasawuf
Ada banyak hasil yang didapat dari tasawuf, di antaranya adalah mendidik hati dan mengetahui alam metafisika (alam gaib), dengan perasaan ruhani (dzauq) maupun dengan perasaan hati (wijdan). Hasil lainnya adalah keselamatan di akhirat, meraih ridha Allah Ta’ala, memperoleh kebahagian yang abadi, mengalami penyinaran dan pembeningan hati hingga bisa menyingkap berbagai perkara besar dan menyaksikan kondisi-kondisi ruhaniah yang mengagumkan, serta mampu melihat sesuatu yang tak tampak dalam penglihatan orang lain.
- Keutamaan Tasawuf
Ilmu tasawuf merupakan ilmu yang paling mulia karena hubungannya dengan makrifat dan cinta Allah Ta’ala. Makrifat dan cinta kepada Allah merupakan keutamaan yang bersifat mutlak.
- Hubungan Tasawuf dengan Ilmu-ilmu yang Lain
Tasawuf merupakan pangkal dan syarat bagi ilmu-ilmu lainnya. Karena, tidak ada satu pun ilmu dan amal yang akan bermanfaat selain yang dimaksudkan untuk menghadap (tawajjuh) kepada Allah. Jika ilmu-ilmu yang lain adalah jasad, maka tawasuf laksana ruh baginya.
- Peletak Dasar Tasawuf
Tasawuf diciptakan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala dan diwahyukannya kepada Nabi Muhammad saw. serta para nabi sebelumnya. Tasawuf adalah ruh bagi seluruh syariat agama yang diturunkan Allah. Berkaitan dengan ini, ada tiga istilah yang maknanya terkadang tidak jelas bagi orang awam, yaitu syari’ah, thariqah dan haqiqah.
Syari’ah adalah hukum-hukum yang diturunkan kepada Rasulullah saw. yang dipahami oleh para ulama dari Alqur’an dan sunnah, yang tekstual maupun melalui istinbath (analogi). Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum-hukum yang jelas tentang ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf.
Sedangkan yang dimaksud dengan thariqah adalah pengamalan syariat dengan sungguh-sungguh dan tidak sekadar mengamalkan yang gampang-gampangnya saja. Atau menjauhi semua larangan Allah Ta’ala, baik lahir maupun batin, serta menjalankan segala perintah-Nya secara maksimal. Atau menjauhi segala yang haram dan yang makruh, tidak berlebihan dalam hal yang mubah, serta menunaikan hal-hal yang fardhu dan amalan-amalan sunnah secara maksimal. Dalam menjalankan itu semua, seorang hamba seharusnya berada dalam pengawasan seorang al-‘arif billah (orang yang sungguh mengenal Allah).
Adapun haqiqah, terbagi tiga bagian, yaitu:
Pertama, tersingkapnya hijab antara si hamba dengan sesuatu yang diimaninya sebagai Allah, sifat-sifat-Nya, keagungan-Nya, kesempurnaan-Nya, kedekatan-Nya, hakikat kenabian, kesempurnaan-kesempurnaan para nabi a.s.—terutama kesempurnaan Rasulullah saw. yang menjadi pemuka para nabi dan rasul—serta segala hal yang telah diinformasikannya, antara lain: nikmat dan siksa kubur, kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksa yang ada di dalamnya, surga dan berbagai kenikmatannya. Ketersingkapan ini membuat si hamba melihat semua itu dengan jelas dan nyata. Ketersingkapan hijab ini diikuti dengan berbagai kondisi ruhani (ahwal) yang nampak pada orang yang berhasil menggapainya, antara lain zuhud dalam dunia, mabuk ketuhanan, kelinglungan (dzuhul), tergoncang, sangat rindu dan cinta kepada Allah. Selain itu, ketersingkapan ini juga mungkin disertai dengan ketersingkapan sesuatu—yang dikehendaki Allah—dari alam atas atau alam bawah serta kejadian-kejadian di masa lalu atau kejadian-kejadian di masa depan.
Haqiqah model ini digambarkan dalam ungkapan Haritsah ibn Malik al-Anshari ketika Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Wahai Haritsah, apa kabarmu pagi ini?” Haritsah menjawab, “Pagi ini aku benar-benar menjadi seorang mukmin.” Rasulullah saw. berkata lagi kepadanya, “Sesungguhnya setiap perkataan itu memiliki hakikat. Apa hakikat keimananmu itu?” Haritsah menjawab, “Jiwaku berpaling dari dunia. Bagiku, batu dan emas dari dunia ini sama saja. Karena itulah aku tak tidur di malam hari dan menahan haus di siang hari. Aku seolah-olah melihat singgasana Tuhanku demikian nampak. Aku seolah-olah melihat ahli surga saling mengunjungi. Dan aku seolah-olah mendengar jeritan ahli neraka.” Kemudian Rasulullah saw. berkata lagi, “Aku tahu, maka tetaplah pada jalan ini.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Barangsiapa ingin melihat orang yang qalbunya telah disinari cahaya oleh Allah, maka lihatlah Haritsah ibn Malik.” Hadis ini diriwayatkan Oleh ath-Thabrani dan al-Bazzar serta yang lainnya.
Haqiqah model ini merupakan bagian haqiqah paling tinggi, jenis haqiqah paling agung dan merupakan induk bagi dua model haqiqah lainnya.
Kedua, kekosongan diri (takhalli) dari berbagai akhlak yang kotor serta memenuhinya dengan sifat-sifat yang diridhai dan akhlak yang terpuji (tahalli), sehingga dia benar-benar kokoh padanya serta sifat-sifat yang diridhai dan akhlak yang terpuji itu menjadi adat kebiasaannya.
Ketiga, kemudahan menjalankan amal salih sehingga tidak diperoleh rasa berat dan rasa sukar. Bahkan apabila dia hendak meninggalkan amal salih itu, jiwanya tidak rela dan tidak patuh. Kelapangan dada untuk Islam telah benar-benar sempurna pada dirinya. Jiwanya benar-benar tenteram dalam menjauhi larangan Allah Ta’ala dan menjalankan perintah-Nya. Ketundukan sejati benar-benar sempurna melekat pada dirinya, sehingga dia seperti malaikat dalam rupa manusia.
Haqiqah merupakan buah dari thariqah. Oleh sebab itu penempuh jalan akhirat harus berupaya menghimpun ketiganya (syari’ah, thariqah dan haqiqah) dan tidak boleh mengabaikan satu pun darinya. Karena, al-haqiqah bila syari’ah bathilah wa asy-syari’ah bila haqiqah ‘athilah (Hakikat tanpa syariat adalah batil, dan syariat tanpa hakikat adalah sia-sia).” Al-Imam Malik r.a. berkata, “Barangsiapa bersyariat namun tidak berhakikat, berarti dia telah berbuat fasik. Barangsiapa berhakikat namun tidak bersyariat, berarti dia telah zindik. Dan barangsiapa telah menghimpun keduanya, dia sungguh telah berbuat benar.”
Syari’ah ibarat perahu karena menjadi media penghantar untuk mencapai tujuan dan meraih keselamatan dari kehancuran. Thariqah seumpama lautan yang menyimpan mutiara. Sedangkan haqiqah seumpama mutiara besar yang hanya bisa ditemukan di lautan. Seseorang tidak akan bisa sampai ke lautan selain dengan perahu.
Barangsiapa memandang hakikat segala sesuatu dengan Allah, dia akan mendapati bahwa syari’ah dan haqiqah merupakan dua hal yang korelatif dan inheren seperti air bagi sebatang kayu, dan ruh bagi jasad. Syari’ah bagaikan pohon, thariqah bagaikan rantingnya dan haqiqah adalah buahnya.
- Penamaan Tasawuf
Ilmu ini dinamai ilmu tasawuf (tashawwuf). Secara morfologis, tashawwuf terambil dari kata shafa’ (bersih, jernih, suci). Kata shufi berarti orang yang hatinya bersih, jernih dan suci dari kotoran serta penuh dengan berbagai keteladanan, dan bagi mereka emas tak lagi lebih berharga daripada tanah lempung.
Salah seorang ‘arif billah berkata, “Wahai orang yang menyifatiku, pada kenyataanya engkaulah yang kusifati. Wahai yang mengenal aku, janganlah engkau menipu. Engkau adalah yang kukenal. Sesungguhnya yang disebut pemuda itu ialah orang yang memenuhi janji azalinya. Ia seorang yang bersih (shafi) lalu menjadi yang jernih-suci (shufi), dan karena inilah ia dinamai shufi.”
Pokok tasawuf ada lima. Pertama, takwa kepada Allah Ta’ala di dalam kesendirian maupun di keramaian. Hal tersebut bisa direalisasikan dengan cara menjauhkan diri dari dosa (sikap wara’) dan istiqamah. Kedua, mengikuti sunnah, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Hal ini dapat direalisasikan dengan cara menghafalnya dan berakhlak baik. Ketiga, berpaling dari makhluk, tidak perduli dengan penyambutan maupun penolakan mereka. Hal tersebut bisa terwujud dengan cara sabar dan tawakal. Keempat, ridha kepada Allah, saat kekurangan maupun berkelimpahan. Hal ini bisa dicapai dengan bersikap qana’ah (merasa puas dengan sesuatu yang telah ada) dan pasrah kepada-Nya. Kelima, kembali kepada Allah dalam suka maupun duka, saat susah maupun senang. Hal ini bisa dicapai dengan cara bersyukur kepada Allah saat senang dan berlindung kepada-Nya saat susah.
- Sumber Pengambilan Tasawuf
Ilmu tasawuf bersumber pada Alqur’an, Sunnah dan qaul umat pilihan (khawashil-ummah).
- Hukum Mempelajari Tasawuf
Hukum mempelajari tasawuf adalah fardhu ‘ain, yaitu wajib bagi setiap individu orang muslim. Alasannya antara lain karena tidak ada seorang pun yang terlepas dari aib atau penyakit hati selain para nabi dan rasul. Salah seorang al-‘arif billah berkata, “Barangsiapa tidak ikut dalam jalan ini, yakni ilmu batin, aku khawatir dia tertimpa su’ al-khatimah. Tingkatan partisipasi terendah dalam ilmu ini adalah membenarkannya serta menyerahkannya kepada ahlinya.”
- Permasalahan Tasawuf
Permasalahan tasawuf ialah preposisi-preposisi (qadhaya) yang membahas sifat-sifat hati, termasuk penjelasan istilah-istilah yang beredar di antara kaum sufi, seperti zuhud (berpaling dari dunia), wara’ (waspada, menjaga diri dari dosa), mahabbah (cinta), fana’ (kesirnaan) dan baqa’ (keabadian).[]